Selasa, 15 Mei 2012


PERANAN LEMBAGA TINGGI NEGARA SEBELUM DAN SESUDAH REFORMASI


      Undang – undang dibuat harus sesuai dengan keperluan dan harus peka zaman, artinya aturan yang dibuat oleh para DPR kita sebelum di sahkan menjadi Undang-undang sebelumnya harus disosialisasikan dahulu dengan rakyat, apakah tidak melanggar norma- norma adat atau melanggar hak – hak azazi manusia. Salah satu bukti bahwa Undang – Undang yang sudah tidak relevan lagi dengan kondisi zamanya adalah Undang-Undang dasar 1945. Dengan mengalami empat kali perubahan yang masing – masing tujuanya tidak lain hanya untuk bisa sesuai dengan kehendak rakyat dan bangsa kita, dalam arti bisa mewakili aspirasi rakyat yang disesuaikan zamanya , dimana dalam amandemen yang ke 4 rakyat memegang kekuasaan yang paling tinggi, sangat berbeda dengan sebelum amandemen yang MPR merupakan wakil rakyat untuk mewujudkan aspirasinya yang salah satu tugasnya adalah dalam memilih Presiden dan Wakil Presiden, karena dianggap sebagai bentuk pemerintahan yang korup, syarat dengan aroma KKN yang membentuk kekuasaan tak terbatas terhadap Presidenya. Kita tahu bahwa dalam masa Orde Baru Presiden kita tidak pernah mengalami pergantian selama 32 tahun meski telah mengalami Pemilihan Umum sebanyak tidak kurang dari 6 kali Pemilu. Oleh sebab itu para mahasiswa kita dan para aktivis lainya mengadakan Reformasi yang berimbas juga pada reformasi didalam isi Undang-Undang Dasar 1945.


Adapun perbedaan kelembagaan dan tugas kenegaraaan sebelum dan sesudah amandemen ke -4 yaitu :

A. SEBELUM AMANDEMEN KE -4

       Pada saat sebelum amandemen ke -4 lembaga tertinggi Negara adalah MPR seperti yang tersebut dalam UUD 1945 pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa kedaulatan adalah ditangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Pemusyarawatan Rakyat.Adapun lembaga Tinggi Negara pada saat itu adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan BPK, Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dan Mahkamah Agung. Berikut bagan Lembaga Negara sebelum amandemen yang ke -4.

Tugas kenegaraan Lembaga Tinggi Negara Sebelum amandemen:

1 . MPR
 
   Sebagai Lembaga Tertinggi Negara diberi kekuasaan tak terbatas (super power) karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang menetapkan UUD, GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden.
   Susunan keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan utusan daerah serta utusan golongan yang diangkat.
Dalam praktek ketatanegaraan, MPR pernah menetapkan antara lain:

1.        Presiden, sebagai presiden seumur hidup.
2.        Presiden yang dipilih secara terus menerus sampai 7 (tujuh) kali berturut turut.
3.        Memberhentikan sebagai pejabat presiden.
4.        Meminta presiden untuk mundur dari jabatannya.
5.        Tidak memperpanjang masa jabatan sebagai presiden.
6.        Lembaga Negara yang paling mungkin menandingi MPR adalah Presiden, yaitu dengan memanfaatkan kekuatan partai politik yang paling banyak menduduki kursi di MPR.


2. PRESIDEN / WAPRES

Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai mandataris MPR, meskipun kedudukannya tidak “neben” akan tetapi “untergeordnet”.

1.        Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi (consentration of power and responsiblity upon the president).

2.        Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power), juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan kekuasaan yudikatif (judicative power).

3.        Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.

4.        Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian presiden dalam masa jabatannya.


3. DPR

1.        Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden.
2.        Memberikan persetujuan atas PERPU.
3.        Memberikan persetujuan atas Anggaran.
4.        Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban presiden.



4. DPA dan BPK
  
   Di samping itu, UUD 1945 tidak banyak mengintrodusir lembaga-lembaga negara lain seperti DPA dan BPK dengan memberikan kewenangan yang sangat minim.


5. MA (Mahkamah Agung)

   Merupakan lembaga tinggi Negara dari peradilan Tata Usaha Negara,PN,PA,dan PM.




B.  SESUDAH AMANDEMEN KE -4

     Sebagai kelembagaan Negara, MPR RI tidak lagi diberikan sebutan sebagai lembaga tertinggi Negara dan hanya sebagai lembaga Negara, seperti juga, seperti juga DPR, Presiden, BPK dan MA. Dalam pasal 1 ayat (2) yang telah mengalami perubahan perihal kedaulatan disebutkan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar sehingga tampaklah bahwa MPR RI tidak lagi menjadi pelaku/pelaksana kedaulatan rakyat. Juga susunan MPR RI telah berubah keanggotaanya, yaitu terdiri atas anggota DPR dan Dewan Perakilan Daerah (DPD), yang kesemuanya direkrut melalui pemilu.
     Perlu dijelaskan pula bahwa susunan ketatanegaraan dalam kelembagaan Negara juga mengalami perubahan, dengan pemisahan kekuasaan, antara lain adanya lembaga Negara yang dihapus maupun lahir baru, yaitu sebagai Badan legislative terdiri dari anggota MPR, DPR, DPD, Badan Eksekutif Presiden dan wakil Presiden, sedang badan yudikatif terdiri atas kekuasaan kehakiman yaitu mahkamah konstitusi (MK) sebagai lembaga baru, Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Yudisial (KY) juga lembaga baru. Lembaga Negara lama yang dihapus adalah dewan Pertimbangan Agung (DPA), dan Badan pemeriksa keuangan tetap ada hanya diatur tersendiri diluar kesemuanya/dan sejajar.

Tugas dan kewenagan MPR RI sesudah perubahan, menurut pasal 3 UUD 1945 ( perubahan Ketiga ).

a. Majelis Permusyawaran Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan UUD
b. Majelis Permusyawaran Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.
c. Majelis Permusyawaran Rakyat hanya dapat memberhentikan presiden dan/atau Wakil

     Presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar ( impeachment ).
Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power) kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar, yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).


Perubahan (Amandemen) UUD 1945:

1.   Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat (3)] dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka, penghormatan kepada hak asasi manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of law.
2.        Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para pejabat negara, seperti Hakim.
3.       Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang berdasarkan fungsi masing-masing.
4.        Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.
5.      Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum.
6.    Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan maing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan negara demokrasi modern.

Tugas Lembaga Tinggi Negara sesudah amandemen ke – 4 :

A.  MPR
  •  Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
  • Menghilangkan supremasi kewenangannya.
  •  Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.
  • Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena presiden dipilih secara langsung melalui pemilu).
  • Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
  • Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih secara langsung melalui pemilu.


B.  DPR
  •  Posisi dan kewenangannya diperkuat.
  • Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja) sementara pemerintah berhak mengajukan RUU.
  • Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan Pemerintah.
  • Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga negara.

C.  DPD

  •  Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan yang diangkat sebagai anggota MPR.
  • Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara Republik Indonesia.
  • Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
  • Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.

D.  BPK

1.  Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
2.  Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan negara (APBN) dan  daerah (APBD) serta menyampaikan hasil pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
3. Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap provinsi.
4. Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.


E.  PRESIDEN

1.        Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
2.        Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
3.        Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode saja.
4.        Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus memperhatikan pertimbangan DPR.
5.        Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus memperhatikan pertimbangan DPR.
6.        Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden dalam masa jabatannya.


F. MAHKAMAH AGUNG

1.  Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)].
2. Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang lain yang diberikan Undang-undang.
3. Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
4. Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti : Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.


G. MAHKAMAH KONSTITUSI

1.        Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi (the guardian of the constitution).
2.        Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD.
3.        Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari 3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan eksekutif.


H. KOMISI YUDISIAL

Tugasnya mencalonkan Hakim Agung dan melakukan pengawasan moralitas dank ode etik para Hakim.


Dikutip dari : http://rizaltiertakasirin.blogspot.com/


Sabtu, 12 Mei 2012

Tugas Softskill tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia
PERANAN PANCASILA SEBELUM DAN SESUDAH REFORMASI


Bagaimana perkembangan Pancasila sebelum dan sesudah masa reformasi ? Bagaimana keberadaan Pancasila setelah reformasi ?


Pancasila Sebagai Dasar Negara Republik Indonesia 

Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks sebagai dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap warga negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki persepsi dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Apalagi manakala dikaji perkembangannya secara konstitusional terakhir ini dihadapkan pada situasi yang tidak kondusif sehingga kridibilitasnya menjadi diragukan, diperdebatkan, baik dalam wacana politis maupun akademis.
              Sejak kelahirannya (1 Juni 1945) Pancasila adalah Dasar Falsafah Negara Kesatuan Republik Indonesia, atau lebih dikenal sebagai Dasar Negara (Philosofische groundslag). Hal ini, dapat diketahui pada saat Soekarno diminta ketua Dokuritsu zyunbi Tyoosakai untuk berbicara di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia tanggal 1 Juni 1945, menegaskan bahwa beliau akan memaparkan dasar negara merdeka, sesuai dengan permintaan ketua.

Menurut Soekarno, pembicaraan-pembicaraan terdahulu belum menyampaikan dasar Indonesia Merdeka. Bahkan Soekarno menyatakan : Maaf, beribu maaf ! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah bahasa Belanda “
 
philosofische groundslag” dari pada Indonesia merdeka. Philosofische groundslag itulah pundamen, filsafat, pemikiran yang sedalam-dalamnya untuk diaasnya didirikan gedung Indoensia Merdeka yang kekal dan abadi (sekretariat negara, 1995 : 63) Pada bagian pidato berikutnya, Soekarno menyatakan, bahwa Philosofische Groundslag diatas mana kita mendirikan negara Indonesia, tidak lain adalah Waltanschauung. Bahkan Soekarno lebih menegaskan lagi Waltanschauung yang kita harapkan tidak lain adalah persatuan philosofische graoundslag. Untuk itu Soekarno menegaskan sebagai berikut :


 Apakah itu ? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya : apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan ? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saya Indonesia Merdeka, tetapi hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan yang kaya, untuk memberi pada satu golongan bangsawan ? Apakah maksud kita begitu ? Sudah tentu ! Baik saudara –saudara yang bernama kaum kebangsaan yang disini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendidikan suatu negara “semua buat semua” Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi “semau buat semua”.  Inilah salah satu dasar pikiran yang akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di salam saya punya jiwa, bukan saja didalam beberapa hari didalam sidang Dokuritsu zyunbi Tyoosakai ini, akan tetapi sejak tahun 1981, 25 tahun lebih, ialah : dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan”. (sekretariat negara, 1995 : 71) 


       Paparan berikut Soekarno menyatakan filosofische principe yang kedua adalah internasionalisme. Pada saat menegaskan pengertian internasionalisme, Soekarno menyatakan bahwa internasionalisme bukanlah berarti kosmopolitisme, yang menolak adanya kebangsaan, bahkan beliau menegaskan : “Internasionalisme tidak dapat hidup subur kalau tidak berakar didalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam taman sarinya internasionalisme. “Seraya mengutip ucapan Gandhi, beliau menegaskan my nasionalisme is humanity. Pada saat menjelaskan prinsip dasar ketiga, Soekarno menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara “Semua buat semua, satu buat semua, semua buat satu”, oleh karenanya saya yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan. Demikian berikutnya untuk prinsip dasar yang keempat Soekarno mengusulkan prinsip kesejahteraan ialah prinsip tidak akan ada kemiskinan didalam Indonesia merdeka. Prinsip dasar kelima adalah prinsip Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pada kesempatan itu, Soekarno menjelaskan :

" Prinsip ketuhanan ! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan yang menurut petunjuk Isa al Masih, yang Islam ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad saw, orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan-nya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan ! Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam maupun Kristen dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu ? Ialah hormat-menghormati satu sama lain. (Tepuk tangan sebagai hadirin). Nabi Muhammad saw telah memberi bukti yang cukup tentang verdragzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdragzaamheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan : bahwa prinsip kelima daripada negara kita ialah ketuhanan yang berkebudayaan. Ke-Tuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ke-Tuhanan yang hormat menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa negara Indonesia Merdeka berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa ! Disinilah, dalam pengakuan asas yang kelima inilah, saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan engara kita akan ber-Tuhan pula ! (sekretariat negara, 1995 : 81)


Prinsip-prinsip filsafati yang jelas oleh Soekarno tersebut diatas merupakan dasar negara. Berbicara tentang nama dasar negara, Soekarno menyatakan sebagai berikut :

Saudara-saudara ! “Dasar-dasar negara “ telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma ? Nama Panca Dharma tidak tepat disini. Dharma berarti kewajiban, sedangkan kita membicarakan dasar, saya senang kepada simbolik. Kita mempunyai Panca Indra. Apalagi yang lima bilangannya ? (Seorang yang hadir : pandawa lima). Pandawa limapun orangnya, sekarang banyak prinsip : kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ke-Tuhanan, lima pula bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa namanya ialah Pancasila, sila artinya asas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.” (Sekretariat Negara 1995 : 81) 


Prinsip-prinsip filsafati Pancasila sejak awal kelahirannya diusulkan sebagai dasar negara (philosofische grondslag, Weltanschauung) Republik Indonesia, yang kemudian diberi status (kedudukan) yang tegas dan jelas dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia).  


 Perkembangan Pancasila Sebagai Dasar Negara

  Generasi Soekarno – Hatta telah mampu menunjukkan keluasan dan kedalaman wawasannya, dan dengan ketajaman intelektualnya telah berhasil merumuskan gagasan-gagasan vital sebagaimana dicantumkan didalam pembukaan UUD 1945, dimana Pancasila sebagai dasar negara ditegaskan dalam satu kesatuan integral dan integratif. Oleh karena itu para tokoh menyatakan bahwa Pembukaan Undang-Undang 1945 merupakan sebuah dokumen kemanusiaan yang terbesar dalam sejarah kontemporer setelah American Declaration of Independent 1976. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 nyaris sempurna, dengan nilai-nilai luhur yang bersifat universal, oleh karenanya Pancasila merupakan dasar yang kekal dan abadi bagi kehidupan bangsa Indonesia. Semenjak ditetapkan sebagai dasar negara (oleh PPKI 18 Agustus 1945), Pancasila telah mengalami perkembangan sesuai dengan pasang naiknya sejarah bangsa Indonesia (Koento Wibisono, 2001) memberikan tahapan perkembangan Pancasila sebagai dasar negara dalam tiga tahap yaitu:
(1) tahap 1945 – 1968 sebagai tahap politis,
(2) tahap 1969 – 1994 sebagai tahap pembangunan ekonomi, dan
(3) tahap 1995 – 2020 sebagai tahap repositioning Pancasila.

Penahapan ini memang tampak berbeda lazimnya para pakar hukum ketatanegaraan melakukan penahapan perkembangan Pancasila Dasar Negara yaitu :
(1) 1945 – 1949 masa Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama ;
(2) 1949 – 1950 masa konstitusi RIS ;
(3) 1950 – 1959 masa UUDS 1950 ;
(4) 1959 – 1965 masa orde lama ;
(5) 1966 – 1998 masa orde baru dan
(6) 1998 – sekarang masa reformasi. Hal ini patut dipahami, karena adanya perbedaan pendekatan, yaitu dari segi politik dan dari segi hukum.


1. 1945 – 1968 merupakan tahap politis dimana orientasi pengembangan Pancasila diarahkan kepada Nation and Character Building. Hal ini sebagai perwujudan keinginan bangsa Indonesia untuk survival dari berbagai tantangan yang muncul baik dalam maupun luar negeri, sehingga atmosfir politik sebagai panglima sangat dominan. Disisi lain pada masa ini muncul gerakan pengkajian ilmiah terhadap Pancasila sebagai Dasar Negara misalnya oleh Notonagoro dan Driarkara. Kedua ilmuwan tersebut menyatakan bahwa Pancasila mampu dijadikan pangkal sudut pandang dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan bahkan Pancasila merupakan suatu paham atau aliran filsafat Indonesia, dan ditegaskan bahwa Pancasila merupakan rumusan ilmiah filsafati tentang manusia dan realitas, sehingga Pancasila tidak lagi dijadikan alternatif melainkan menjadi suatu imperatif dan suatu philosophical concensus dengan komitmen transenden sebagai tali pengikat kesatuan dan persatuan dalam menyongsong kehidupan masa depan bangsa yang Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan Notonagoro menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan staatfundamental Norm yang tidak dapat diubah secara hukum oleh siapapun. Sebagai akibat dari keberhasilan mengatasi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar negeri, masa ini ditandai oleh kebijakan nasional yaitu menempatkan Pancasila sebagai asas tunggal.

2. 1969 – 1994 sebagai tahap pembangunan ekonomi yaitu upaya mengisi kemerdekaan melalui program-program ekonomi. Orientasi pengembangan Pancasila diarahkan pada bidang ekonomi, akibatnya cenderung menjadikan ekonomi sebagai ideologi. Pada tahap ini pembangunan ekonomi menunjukkan keberhasilan secara spektakuler, walaupun bersamaan dengan itu muncul gejala ketidakmerataan dalam pembagian hasil pembangunan. Kesenjangan sosial merupakan fenomena yang dilematis dengan program penataran P4 yang selama itu dilaksanakan oleh pemerintah. keadaan ini semakin memprihatinkan setelah terjadinya gejala KKN dan Kroniisme yang nyata-nyata bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri. Bersamaan dengan itu perkembangan perpolitikan dunia, setelah hancurnya negara-negara komunis, lahirnya tiga raksasa kapitalisme dunia yaitu Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Oleh karena itu Pancasila sebagai dasar negara tidak hanya dihantui oleh supersifnya komunisme melainkan juga harus berhadapan dengan gelombang aneksasinya kapitalisme, disamping menhadapi tantangan baru yaitu KKN dan kroniisme.

3. 1995 – 2020 merupakan repositioning Pancasila. karena dunia masa kini sedang dihadapi kepada gelombang perubahan secara cepat, mendasar, spektakuler, sebagai implikasi arus globalisasi yang melanda seluruh penjuru dunia, khususnya di adab XXI sekarang ini, bersamaan arus reformasi yang sedang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Reformasi telah merombak semua segi kehidupan secara mendasar, maka semakin terasa orgensinya untuk menjadi Pancasila sebagai dasar negara dalam kerangka mempertahankan jatidiri bangsa dan persatuan dan kesatuan nasional, lebih-lebih kehidupan perpolitikan nasional yang tidak menentu di era reformasi ini. Berdasarkan hal tersebut diatas perlunya reposisi Pancasila yaitu reposisi Pancasila sebagai dasar negara yang mengandung makna Pancasila harus diletakkan dalam keutuhannya dengan Pembukaan UUD 1945, dieksplorasikan pada dimensi-dimensi yang melekat padanya yaitu :

Realitasnya bahwa nilai-nilai yang terkandung didalamnya dikonkritisasikan sebagai ceminan kondisi obyektif yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, suatu rangkaian nilai-nilai yang bersifat “sein im sollen dan sollen im sein”

Idealitasnya bahwa idelisme yang terkandung didalamnya bukanlah sekedar utopi tanpa makna, melainkan diobyektifitasikan sebagai akta kerja untuk membangkitkan gairah dan optimisme para warga masyarakat guna melihat hari depan secara prospektif menuju hari esok yang lebih baik.

Fleksibilitasnya dalam arti bahwa Pancasila bukanlah barang jadi yang sudah selesai dan mendeg dalam kebekuan dogmatis dan normatif, melainkan terbuka bagi tafsi-tafsir baru untuk memenuhi kebutuhan zaman yang terus menerus berkembang, dengan demikian tanpa kehilangan nilai hakikinya Pancasila menjadi tetap aktual, relevan serta fungsional sebagai tiang-tiang penyangga bagi kehidupan bangsa dan negara dengan jiwa semangat Bhinneka Tunggal Ika. Reposisi Pancasila sebagai dasar negara harus diarahkan pada pembinaan dan pengembangan moral, sehingga moralitas Pancasila dapat dijadikan dasar dan arah untuk mengatasi krisis dan disintegrasi. Moralitas Pancasila harus disertai penegakkan (supremasi) hukum.



Peranan Pancasila Di Era Reformasi


1. Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan

     Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila menjadi kerangka berpikir atau pola berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar negara ia sebagai landasa kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini berarti, bahwa setiap gerak langkah bangsa dan negara Indonesia harus selalu dilandasi oleh sila-sila yang terdapat dalam Pancasila. Sebagai negara hukum setiap perbuatan, baik dari warga masyarakat maupun dari pejabat-pejabat dan jabatan-jabatan harus berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam kaitannya dalam pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi landasannya. Artinya hukum yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan dengan sila-sila Pancasila. Sekurang-kurangnya, substansi produk hukumnya tidak bertentangan dengan sila-sila Pancasila.

2. Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang sosial politik

    Pancasila sebagai paradigma pembangunan bidang sosial politik mengandung arti bahwa nilai-nilai Pancasila sebagai wujud cita-cita Indonesia merdeka di implementasikan sbb : - Penerapan dan pelaksanaan keadilan sosial mencakup keadilan politik, budaya, agama, dan ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. - Mementingkan kepentingan rakyat / demokrasi dalam pemgambilan keputusan ; - Melaksanakan keadilan sosial dan penentuan prioritas kerakyatan berdasarkan konsep mempertahankan kesatuan ; - Dalam pelaksanaan pencapaian tujuan keadilan menggunakan pendekatan kemanusiaan yang adil dan beradab ; - Tidak dapat tidak, nilai-nilai keadilan, kejujuran (yang menghasilkan) dan toleransi bersumber pada nilai ke Tuhanan Yang Maha Esa.

3. Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang ekonomi 

    Pancasila sebagai paradigma nasional bidang ekonomi mengandung pengertian bagaimana suatu falsafah itu diimplementasikan secara riil dan sistematis dalam kehidupan nyata.

4. Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang kebudayaan

    Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang kebudayaan mengandung pengertian bahwa Pancasila adalah etos budaya persatuan, dimana pembangunan kebudayaan sebagai sarana pengikat persatuan dalam masyarakat majemuk. Oleh karena itu smeboyan Bhinneka Tunggal Ika dan pelaksanaan UUD 1945 yang menyangkut pembangunan kebudayaan bangsa hendaknya menjadi prioritas, karena kebudayaan nasional sangat diperlukan sebagai landasan media sosial yang memperkuat persatuan. Dalam hal ini bahasa Indonesia adalah sebagai bahasa persatuan.

5. Pancasila sebagai paradigma pembangunan nasional bidang hankam

    Dengan berakhirnya peran sosial politik, maka paradigma baru TNI terus diaktualisasikan untuk menegaskan, bahwa TNI telah meninggalkan peran sosial politiknya atau mengakhiri dwifungsinya dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari sistem nasional.

6. Pancasila sebagai paradigma ilmu pengetahuan 

    Dengan memasukai kawasan filsafat ilmu (philosophy of science) ilmu pengetahuan yang diletakkan diatas pancasila sebagai paradigmanya perlu difahami dasar dan arah penerapannya, yaitu pada aspek ontologis, epistomologis, dan aksiologis. Ontologis, yaitu bahwa hakikat ilmu pengetahuan aktivitas manusia yang tidak mengenal titik henti dalam upayanya untuk mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Ilmu pengetahuan harus dipandang secara utuh, dalam dimensinya sebagai masyarakat, sebagai proses, dan sebagai produk. Sebagai masyarakat menunjukan adanya suatu academic community yang akan dalam hidup kesehariannya para warganya mempunyai concerm untuk terus menerus menggali dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Sebagai proses menggambarkan suatu aktivitas warga masyarakat ilmiah yang melalui abstraksi, spekulasi, imajinasi, refleksi, observasi, eksperimentasi, komparasi dan eksplorasi mencari dan menemukan kebenaran dan kenyataan. Sebagai produk, adanya hasil yang diperoleh melalui proses, yang berwujud karya-karya ilmiah beserta aplikasinya yang berwujud fisik ataupun non fisik. Epistimologi, yaitu bahwa Pancasila dengan nilai-nilai yang terkandung didalamnya dijadikan metode berpikir, dalam arti dijadikan dasar dan arah didalam pengembangan ilmu pengetahuan ; yang parameter kebenaran serta kemanfaatan hasil-hasil yang dicapainya adalah nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila itu sendiri. Aksilogi yaitu bahwa dengan menggunakan epistemologi tersebut diatas, pemanfaatan dan efek pengemabgnan ilmu pengetahuan secara negatif tidak bertentangan dengan Pancasila dan secara positif mendukung atau mewujudkan nilai-nilai ideal Pancasila. Lebih dari itu, dengan penggunaan Pancasila sebagai paradigma, merupakan keharusan bahwa Pancasila harus dipahami secara benar, karena pada gilirannya nilai-nilai Pancasila kita jadikan asumsi-asumsi dasar bagi pemahaman di bidang otologis, epistemologis, dan aksiologisnya.

Sumber :http://www.harypr.com/